Sabtu, 22 Februari 2014

Short Reviews: The Monkey King; RoboCop; I, Frankenstein (3D)

The Monkey King (2013)


Terlalu berantakan untuk sebuah remake yang ambisius. Toh begitu, tidak ada juga hal yang baru yang disampaikan. Special efect-nya tidak konsisten, di lain sisi menampilkan special efect sekualitas Hollywood, namun di lain sisi lebih banyak menampilkan CGI mentah yang buruk dan terlalu prematur. Diperparah lagi dengan kostum-kostum yang nampak palsu dan tidak sepatutnya tampil di zaman CGI saat ini. Dalam pengkarakterannya pun tak jauh berbeda dengan serial-serial Sun Go Kong yang pernah ada. Journey to the West: Conquering the Demons milik Stephen Chow masih jauh lebih bagus. Bahkan karakter Jet Li sebagai Sun Go Kong di film buruk Forbiden Kingdom yang cuman sebentar itu terasa lebih mempunyai karakter yang lebih brand new. Satu yang menjadi kelebihan film ini, hanyalah eksplorasi chapter awal Sun Go Kong yang lumayan detail yang membuat Saya jadi lebih memahami kisah biksu Thong ini. Overall, tak ada hal yang baru yang ditawarkan, kecuali special effect sampah yang membabi buta hampir sepanjang durasi film.



RoboCop (2014)



Lagi-lagi film remake. Dan saya pun cukup kecewa dengan hasil remake yang satu ini. Menghilangkan begitu banyak ciri khas yang ada pada film klasiknya, termasuk adegan-adegan gore nan sadis. Lebih mementingkan porsi drama sosial-politik, yang bahkan memangkas durasi tampilnya sang jagoan. Dibuka dengan adegan "terorisme" yang cukup menegangkan, namun pada akhirnya adegan aksi massive yang ditunggu ternyata tak kunjung datang. Pertarungan klimaksnya juga hanya dikemas dalam adegan baku tembak layaknya film serial televisi. Bukan berarti film ini buruk sama sekali, tapi secara subjektif tak bisa memenuhi ekspektasi Saya. Anyway, it's good to see RoboCop come in black.



I, Frankenstein (3D) (2014)



Dalam bentuk yang paling sederhana, kehadiran film adalah untuk menghibur. Itu lah jiwa paling mendasar yang dimiliki I, Frankenstein. Tanpa harus ditunggangi kepentingan untuk memenangkan penghargaan prestisius, Frankenstein hanyalah film dengan jualan aksi yang dibalut dengan CGI seru. Gimmick 3D-nya juga cukup berasa sepanjang film. Yang cukup disayangkan adalah banyaknya plot hole yang bisa mengurangi kenikmati menonton, karena kita sibuk berlogika dan berasumsi mencoba menghubungkan semuanya. Judulnya pun kesannya tidak kreatif, mengingatkan Saya dengan film Will Smith; I, Robot. Akting pemerannya juga biasa-biasa saja (kecuali Aaron Eckhart yang tampil cukup baik). Tipikal filmnya juga gak jauh beda dengan Underworld dan sequelnya. Overall, cukup menghibur ditengah segala kekurangannya. Pokoke joged.. eh.. pokoke enjoy..

Minggu, 16 Februari 2014

The Lego Movie, everything is awesome!!


Imajinasi seorang anak-anak bisa jadi sangat liar, bebas, dan luas. Tanpa ada batasan-batasan yang bisa membendung kreatifitas mereka. Dengan sepotong mainan, mereka bisa membuat kisah petualangan seru. Itulah yang coba dibawa oleh Lego Movie, memberikan ruang kita untuk masuk dalam imajinasi dunia mainan. Luas dan tanpa batas. Penuh dengan gimmick a la anak-anak ketika mereka asyik main dengan mainannya. Efek suara manual dengan mulut. Hingga pada karakter aneh robot bajak laut.



Kekanak-kanakan.. mungkin itulah kata-kata yang bisa menggambarkan The Lego Movie. Tapi ini kekanak-kanakan yang everything is awesome. Penuh dengan candaan khas anak-anak yang sekaligus membuat orang dewasa mengingat-ingat apa yang terjadi puluhan tahun lalu, ketika mereka masih bermain dengan potongan mainan yang seakan hidup oleh imajinasinya. Lego Movie menghadirkan itu semua dalam sebuah kemasan yang sangat menghibur, plotnya pun tidak sembarangan. Childish tapi dengan alasan yang cukup jelas.Gambarnya yang detail khas mainan Lego menjadi nilai tambah sekaligus daya tarik dalam film ini. Soundtracknya pun easy listening. Dan pada akhirnya, endingnya yang di luar dugaan memberikan sebuah ekplanasi atas apa yang terjadi sepanjang film.

Dalam satu kesatuan paket yang utuh, hampir tidak ada yang bisa dicela. Sebagai film animasi pun, ruang geraknya juga cukup jelas. Dalam dunia yang tanpa batas. Walaupun terkadang, animasinya punya gerakan patah seperti one-stop motion, namun pada akhirnya kita akan mengamini. Kalaupun ada kekurangan, Lego Movie punya konversi 3D yang buruk. Tapi kita masih sangat bisa menikmatinya dalam versi 2D.

Overall, dalam kapasitasnya sebagai film animasi dengan rating segala usia.. It's a perfection! Hampir tanpa cela, atau dengan kata lain everything is awesome!


Killers キラーズ : Provocative Thriller Experience


Dari sekian banyak sub-genre film horror di Indonesia, tipe slasher/ gore termasuk jarang yang dibuat. Selain mungkin dikarenakan faktor komersialitas yang rendah, karena jarang ada penonton yang menikmati kesadisan filmnya, film-film gore juga seringkali susah fit-in bersama budaya lokal kita. Bisa dikatakan punya segmentasi terbatas. Tapi hal tersebut tidak menyurutkan kreatifitas sineas-sineas kita seperti Mo Brothers yang selalu setia pada tipe film seperti ini.


Keistimewaan Killers punya plot yang tergolong rumit dibandingkan dengan slasher khas Amerika yang brainless dan cenderung menjadi tontonan remaja. Terdiri dari dua subplot yang berjalan beriringan, hingga akhirnya menyatu menjadi sebuah ending pamungkas yang cukup luar biasa. Kalau boleh dibandingkan, Killers punya kemiripan dengan The Godfather part 2, sama-sama memiliki 2 subplot dengan menonjolkan perbedaan karakteristik masing-masing tokohnya di 2 subplot tersebut. Bedanya, Killers melakukannya pada timeline yang sama. Memadukan 2 pembunuh, profesional dan amatir yang diperankan dengan sangat menjiwai oleh Kazuki Kitamura dan Oka Antara.

Sebagai seorang pembunuh amatir, Oka Antara benar-benar bisa melakukan sesuatu yang di luar dugaan. Detail-detail kecerobohannya dalam melakukan adegan pembunuhan benar-benar terasa. Aktingnya di beberapa poin mungkin agak terlalu emosional, apalagi ditambah dengan liur dan ingus yang semakin menumbuhkan ruh emosi pada aktingnya. Mengingatkan saya pada Fahri Albar di segmen Safe Heaven V/H/S/2 tempo hari. Sepertinya Timo Cahyanto ingin mengulang kesuksesan akting pada Oka Antara dengan resep a la Fahri Albar. Apalagi dengan kehadiran Epi Kusnandar, aktor langganan Timo yang punya peran yang selalu nyeleneh (baca: disorientasi seks), semakin menunjukkan entah ini signature atau stagnansi eksplorasi idenya hanya disekitar itu-itu saja. Tapi yang jelas Timo seakan-akan sudah mempatenkan dirinya sebagai spesialis darah dengan tema ekstrim yang nyeleneh sebagaimana yang ada pada V/H/S/2 atau The ABC's of Death

Boleh saja Killers punya segmentasi yang terbatas, namun bagi saya ini merupakan thriller experience yang jarang ada, mengesankan sekaligus memuaskan. Memadukan akting yang emosional, plot yang lumayan serius dan provokatif, ditambah dengan bumbu kekerasan yang bisa membuat kita memicingkan mata. Pengkarakterannya luar biasa keren, apalagi dengan adanya dua subplot yang semakin membagi ruang akting masing-masing tokoh sentralnya. Two thumbs up!



Jumat, 07 Februari 2014

Comic 8: Best Comedy-Action Ever?


Saat ini selera humor seakan-akan dikotak-kotak menurut mutu dan kualitas. Konon katanya komedi ala Stand-up Comedy termasuk dalam golongan bermutu. Entahlah, menurut saya yang namanya humor/ komedi adalah suatu pertunjukan yang bisa membuat kita tertawa. Apa pun bentuknya, pada hakekatnya tujuan dari komedi adalah membuat orang lain tertawa. Saat anda menonton sebuah tayangan komedi baik itu hanya monolog verbal atau slapstick dan kemudian anda tertawa, itu lah komedi berkualitas.

Tidak seperti genre komedi pada umumnya, Comic 8 punya treatment yang cukup serius. Serius dalam membangun plot yang penuh twist berlapis dan tidak mudah ditebak, serius dalam meng-casting pemerannya, dan juga serius pada desain produksinya. Bahkan menurut beberapa media massa, katanya mereka menggunakan senjata asli dalam proses syutingnya. Toh senjata asli atau palsu, kalau sudah masuk kamera, tampil dalam sebuah adegan film, dan nampak meyakinkan, penonton pun akan dibuat percaya tanpa harus tahu itu senjata asli atau palsu.

Salah satu hal yang membuat film ini spesial adalah bukan senjata aslinya, melainkan jajaran para aktor pemerannya. Mulai dari pemeran inti yang notabene para comic yang biasanya cuman bisa monolog di atas panggung, namun kali ini punya kesempatan menampilkan kebolehan aktingnya. Bagus kah? Tentu saja mereka bagus, mereka seakan-akan memerankan diri mereka sendiri lengkap dengan gimmick-gimmick khas mereka, yang tentu saja penonton sudah hafal kemana akting mereka bermuara. Tapi hal ini bukan lah masalah, mereka memang para comic yang dituntut mempunyai trademark atau ciri khas di atas panggung. Bagaimana cara mereka nge-blend satu sama lain itulah yang patut diacungi jempol. Dan tentu saja jualan film ini ya.. para comic tersebut yang saat ini sedang naik daun karena lagi musim stand-up comedy.

Selain para pemeran inti yang mumpuni, film ini didukung puluhan artis pendukung yang luar biasa. Tak hanya terkenal, namun mampu menempatkan trademark mereka pada setiap adegan. Sebut saja Nikita Mirzani yang hadir dengan jualan boobs-nya. Atau Indro Warkop dengan tipikal komedi jayusnya. Dan masih banyak artis lainnya, mulai dari Coboi Jr., Candil, Nirina Zubir, Leila Sari, Kiki Fatmala, Pandji, Agung Hercules, and so many more. Walaupun mereka kebagian porsi durasi yang sedikit, tapi adegan-adegan mereka cukup memorable, dan mungkin bakal tetap diingat para penonton.





















Sayangnya adegan aksi pamungkas yang ambisius rupanya gagal diusung oleh Anggy Umbara sang sutradara, terlalu banyak kekurangan teknis yang ditampilkan. Banyak adegan ledakan yang sekedar tempelan, penggunaan layar biru yang terlalu mencolok, dan inkonsistensi pada beberapa adegan. Hal ini dapat dimaklumi mungkin dikarenakan budget yang terbatas, atau teknologi perfilman Indonesia yang belum mumpuni. Selebihnya, Anggy Umbara berhasil memberikan tone warna unik pada filmnya plus puluhan adegan slow motion yang stylish, mengingatkan saya pada gaya penyutradaraan Zack Snyder.

Overall, Jika kalian menyaksikan Comic 8 dan kemudian tertawa, maka Comic 8 adalah komedi berkualitas. Sebaliknya jika kalian tidak tertawa, bisa jadi film ini tidak berkualitas. Dan Saya pun tertawa melihat Comic 8. Tidak hanya komedinya yang berkualitas, dalam satu paket utuh Comic 8 might be one of the best action-comedy genre in Indonesia ever made. Belum pernah ada film seperti ini, boleh lah kalo dibilang the best. Dan sudah sepantasnya Comic 8 bisa mencapai 550 ribu penonton dalam 5 hari.




Minggu, 02 Februari 2014

2013 in Review: Best Movies of The Year

15 Best Movie of 2013




List ini hanya bersifat personal, dan dapat dipastikan punya penilaian yang sangat subjektif dari penulis. If you don't agree, just make your own list. Tanpa basa-basi lagi, here the countdown..


15. Fast and Furious 6 aka. Furious 6


Masih dipenuhi dengan adegan car chasing yang senada dengan instalmen sebelumnya. Tapi sekuel yang satu ini memberikan action highlight yang lebih eksplosif dan kreatif, khususnya tank showdown di jalan bebas hambatan. Dan tak lupa fighting scene dan peran Joe Taslim yang punya porsi lumayan menonjol, menjadikan kita sebagai warga Indonesia lumayan bangga.





14. The World's End

Satu lagi komedi aneh yang melengkapi trilogi three flavours of cornetto bikinan Edgar Wright. Dengan konsep yang berbeda dengan komedi lainnya, World’s End hadir dengan awkward moments yang sengaja diusung untuk menghadirkan tawa. Tentu saja lawakan seperti ini punya segmentasi terbatas.





13. The Hobbit: The Desolation of Smaug


Tak jauh beda dengan franchise Middle Earth lain garapan Peter jackson, seri kedua dari The Hobbit ini juga menghadirkan desain teknis menawan, full special effect dan CGI. Lebih kerennya lagi, penulis skrip Fran Walsh, Philippa Boyens dan Guilermo del Toro berhasil memasukkan unsur non-novel ke dalam cerita sehingga seakan-akan memberikan konsistensi dan kesinambungan dengan trilogi TLOTR.





12. New World aka. 신세계


Mungkin sudah banyak film dengan tema gangster di sinema Korea, tapi yang satu ini punya kelebihan pada intrik dan plot dengan ending yang tidak lazim. Ceritanya mungkin mirip dengan Infernal Affairs, namun digarap dengan citarasa Korea Utara.



11. Miracle in Cell No.7 aka. 7번방의 선물


Tearjerker yang satu ini dipenuhi dengan dramatisasi plot, dialog dan adegan-adegan yang membuat penonton benar-benar sulit mempertahankan emosi. Tapi tidak dengan membuat karakter-karakternya merengek-rengek di layar demi membuat penonton terhanyut, layaknya film-film Indonesia. Plotnya mungkin predictable, tapi racikan sutradaranya menjadikan Miracle sebagai tearjerker yang mengaduk-aduk perasaan penonton. Didukung pula dengan akting apik nan imut artis cilik Kal So-won, it’s a perfection..

10. The Hunger Games: Catching Fire


Best movie based on teen lite novel ever made. Mungkin julukan itu patut Saya berikan pada film ini. Kisah romantisme ala remaja yang ada di film ini jelas memiliki bobot lebih bermutu dibanding film-film sejenis. Konflik percintaan segitiga yang dihadirkan merupakan benang merah pada plot utama yang tidak dapat dipungkiri. Didukung pula oleh ensemble cast yang luar biasa, khususnya Jennifer Lawrence dan Elizabeth Banks (as Effie Trinket).



09. Prisoners


Kekuatan utama film ini adalah akting dan chemistry yang dibangun oleh masing-masing pemerannya, hingga berhasil menggugah empati penonton. Dipenuhi dengan dialog-dialog penting dan berkualitas sepanjang film, menjadikan dua setengah jam durasinya tidak membosankan.



08. Man of Steel


Berbeda dari versi-versi film layar lebar sebelumnya, Man of Steel adalah sebuah origin reboot yang membangun karakter Superman lebih logis dan manusiawi. Dilengkapi dengan adegan-adegan action CGI yang over destructive, sekaligus menjadi adegan yang ditunggu-tunggu banyak penonton setelah drama serius yang penuh dengan ungkapan dan metafora.




07. This is the End


Komedi aneh bertema apocalypse ini didukung oleh puluhan cameo artis-artis Hollywood lengkap dengan gimmick dan trivia film-film mereka. Dengan sedikit sentuhan religi pada bagian konklusinya, menjadikan This is the End konyol sekaligus nyeleneh, but I love it so much..


06. Star Trek Into Darkness


Masih berlanjut dari seri sebelumnya, Into Darkness tidak perlu lagi bertele-tele memperkenalkan satu-satu karakternya. Adegan-adegannya penuh dengan spesial efek yang memanjakan mata. Memberikan tribute pada original concept-nya yang klasik, dan digarap dengan detail oleh JJ Abrams. Plot yang dirancang oleh penulis naskahnya dilakukan dengan kecermatan tinggi, hingga tidak lupa memberikan sentuhan konsistensi alternate universe yang sudah dimulai di seri sebelumnya . It’s definitely most blockbuster movie of summer 2013..




05. Trance


Film garapan sineas Inggris Danny Boyle ini punya caranya sendiri untuk bercerita. Tidak ada pakem genre dalam film ini, semuanya dihadirkan dengan surprise-surprise tersendiri sebagaimana multi-twist pada plot ceritanya.


04. Captain Phillips


Satu hal yang membuat film ini spesial adalah, peran hijackers yang dibawakan oleh orang-orang asli Somalia. Mereka seakan-akan tidak berakting dalam perannya, it’s so natural... Selain itu tentu saja ada Tom Hanks yang berperan tidak seperti biasanya, menjadi kapten kapal yang tegar namun berhasil memberikan emotional turnover dipenghujung filmnya.


03. 12 Years a Slave


Drama dengan tema slavery yang sangat menyentuh, dan didukung oleh aktor-aktor yang pandai berakting. Bahkan saking meyakinkanya, akting Chiwetel Ejiofor mampu membuat penonton merasa iba atas derita yang dialaminya. Penuh emosi dan disajikan dalam set yang otentik di era perang sipil Amerika. Probably won best motion picture of the year at Oscar.

02. Gravity


Di dalam kesederhanaan ceritanya, Gravity bukan sekedar film sci-fi biasa. Punya aspek thrill yang luar biasa, yang bisa memberikan momentum psikologis kepada penontonnya. Bahkan saya pun harus ikut menahan nafas ketika Dr. Ryan Stone kehabisan oksigen di luar angkasa. Hampir keseluruhan film digarap dalam zero gravity dengan shoot panjang yang mencengangkan. Difilmkan secara digital di studio dengan production design berikut efek dan 3D yang menjadikan Gravity sebagai film 3D terbaik tahun ini. Tema outer space claustrophobia ini disajikan dalam tampilan sinematografi indah namun penuh suspense.


01. Rush



Daniel Brühl dan Chriss Hemsworth berhasil memerankan dua tokoh ikonik dunia balapan Formula One, Niki Lauda dan James Hunt dengan sempurna. Rivalitas keduanya dituangkan dalam film yang menyuguhkan keseruan balapan F1 ini, lengkap dengan konflik internal masing-masing tokohnya. Casting pemainnya yang sempurna, serta dukungan teknis yang melengkapinya menjadikan film ini luar biasa. Keseriusan dapat dilihat pada set produksi yang didisain vintage, mulai dengan replika mobil dan wardrobe-nya, dilengkapi dengan music score yang megah buatan Hans Zimmer yang menambah kesan thrill and action di setiap adegan balapannya. Dan semua itu di-direct oleh Ron Howard tanpa ada tokoh protagonis yang absolut, digarap secara abu-abu dan punya porsinya masing-masing. Ending-nya yang luar biasa menghadirkan dialog kuat antara kedua tokoh sentralnya, sekaligus merupakan ekplanasi dan konklusi keseluruhan filmnya. This might be one of best biography retelling ever made, tanpa harus memberikan kesan serius dan membosankan, tidak terbentur segmentasi untuk pecinta film-film award contender.. Dapat dinikmati siapa pun. Itulah yang menjadikan Rush menjadi my most favorite movie of the year..



10 Film Indonesia Terbaik 2013